BAB
4 KASUS HUKUM PERIKATAN
Akta Jual Beli Tanah Dinilai Cacat Hukum
• Kasus Jayenggaten SEMARANG
- Akta jual beli tanah Jayenggaten dari
ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai cacat hukum. Akta
yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas
5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual
oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra Soegiarto, pemilik Hotel
Gumaya.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas
Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun
lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung
tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah
mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara
ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes
dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa
(6/9).
Baik dalam kasus perdata maupun pidana,
Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar
putusan tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga
hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi
Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes,
hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar
hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula,
Dr Ali Mansyur SH CN MH.
Arief Hidayat menilai, ada fakta yang
disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka
ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang
mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT
dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
Tak Memutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali
Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan,
jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa.
Dalam ketentuan hukum perdata, sewa
menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayenggaten,
menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para
penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Gumaya merasa
memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan
pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai
masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris
Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Gumaya), dan warga Jayenggaten,”
usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum
Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung
Jayenggaten. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung
tersebut. Menurutnya, pada 8 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai
negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Gumaya bersedia memberi kompensasi
sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian
menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mahfudz Ali mengatakan,
Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Gumaya. Bahkan,
beberapa waktu lalu Mahfudz mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan
kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan
telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,”
kata dia.
Pada kesempatan itu, Mahfudz
memprihatinkankan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga
Jayenggaten pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah
melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayenggaten terselesaikan dengan
baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak
Wali. Saya kan jadi prihatin,” ujarnya.
Sumber Kasus : ( Suara Merdeka )
http://rendrapermana-meilleurstar-fz.blogspot.com/2012/04/contoh-kasus-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar